Sunday, December 8, 2013

MAKALAH KONSERVASI LATAR BELAKANG TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA



BAB I
LATAR BELAKANG

Perikanan di Indonesia memiliki bermacam potensi yang terdapat didalamnya, salah satunya potensi dari bidang perikanan berada di wilayah pesisir pantai. Daerah pesisir pantai merupakan daerah yang berhubungan langsung dengan laut sehingga apabila dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan akan didapatkan hasil yang diharapkan. Masyarakat pesisir sangat menggantungkan hidupnya pada potensi perikanan yang berada di daerahnya, misalnya terumbu karang, hutan mangrove, maupun rumput laut. Nilai ekonomi yang tinggi dalam pemanfaatan potensi tersebut sangat tergantung dari berbagai macam faktor antara lain adalah modal usaha, perijinan, iklim, ombak, angin, dsb. Salah satu cara yang dapat ditempuh agar usaha dalam bidang perikanan dapat berjalan terus-menerus adalah dengan adanya optimalisasi hasil yang diperoleh secara berkelanjutan dan bertanggung jawab, serta adanya langkah konservasi dalam menjaga keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut.
Berbagai macam fungsi terumbu karang di alam dan bermanfaat bagi manusia. Beberapa fungsi terumbu karang adalah sebagai pelindung ekosistem pantai.Terumbu karang akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya. Selain itu terumbu karang sebagai penghasil oksigen.Terumbu karang memiliki kemampuan untuk memproduksi oksigen sama seperti fungsi hutan di daratan, sehingga menjadi habitat yang nyaman bagi biota laut. Terumbu karang juga sebagai habitat bagi banyak jenis makhluk hidup. Terumbu karang menjadi tempat bagi hewan dan tanaman yang berkumpul untuk mencari makan, berkembang biak, membesarkan anaknya, dan berlindung. Bagi manusia, terumbu karang mempunyai manfaat yang sangat besar, baik untuk sumber makanan maupun mata pencaharian mereka. Fungsi terumbu karang yang dimanfaatkan oleh manusia lainnya adalah sebagai sumber obat-obatan, bahan bangunan, dan perindustrian. Pada terumbu karang banyak terdapat bahan-bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi obat bagi manusia, daerah penelitian, objek wisata, maupun nilai spiritual.
Menurut Burke et al. (2002), terumbu karang banyak tersebar di daerah tropis dan subtropics, terutama di dekat garis khatulistiwa. Ekosistem hanya mampu tumbuh di perairan laut dangkal pada kedalaman 18-29 m dengan suhu 21-29oC. Selain itu cahaya matahari menjadi sumber kehidupan utama bagi alga untuk berfotosintesis. Hewan-hewan yang hidup disini juga membutuhkan salinitas yang tinggi serta air bersih untuk dapat bertahan hidup.
BAB II
STUDY AREA

Taman Nasional Bunaken adalah taman laut yang terletak di Sulawesi Utara lebih tepatnya di  kabupaten Minahasa, kotamadya Manado, Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Taman Nasional Bunaken menjadi habitat yang cocok bagi bermacam-macam terumbu karang, ikan, dan biota lainnya. Taman Nasional Bunaken secara resmi didirikan pada tahun 1991 yang ditunjuk Menteri Kehutanan dengan SK No. 730/Kpts-II/1991dan pada tahun 2005 Indonesia mendaftarkan taman nasional ini kepada UNESCO untuk dimasukan kedalam Situs Warisan Dunia.
Kondisi Fisik
Menurut Anonim 2011a, luas taman Nasional Bunaken sebesar 89.065 hektar dan memiliki letak geografis di 1°35’ - 1°49’ LU,  124°39’ - 124°35’ BT. Selain itu, taman tersebut memiliki pulau-pulau yang dapat dilihat pada:
1.      Pada bagian Utara terdiri dari pulau Bunaken, pulau Manado Tua, pulau Montehage, pulau Siladen, pulau Nain, pulau Nain Kecil, dan sebagian wilayah pesisir Tanjung Pisok.
2.      Pada bagian Selatan meliputi sebagian pesisir Tanjung Kelapa.
Taman Nasional Bunaken memiliki temperatur udara antara 26° - 31°C, sehingga taman tersebut memiliki kondisi yang sesuai bagi kehidupan organisme air yang hidup di perairan. Apabila dilihat dari ketinggian tempat, Taman Nasional Bunaken memiliki ketinggian antara 0 – 800 meter dpl.  Taman tersebut juga memiliki salinitas antara 33 - 35 °/OO dan kecerahan antara 10 - 30 m. Melalui besarnya salinitas dan kecerahan tersebut maka terumbu karang yang terdapat di taman tersebut dapat berkembang secara baik. Sedangkan dilihat dari pasang surut di taman tersebut memiliki pasang surut yang cukup tinggi yaitu 2,5 meter dan dilihat dari curah hujan memiliki curah hujan antara 2.500 – 3.500 mm/tahun, namun setelah adanya global warming curah hujan berubah-ubah dan sulit untuk diperkirakan.

BAB III
METODE

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini sebagian besar diperoleh dengan penelusuran data dari internet.  Pemilihan metode tersebut didasarkan pada kemudahan serta akses yang cepat dalam pencarian data sehingga lebih efisien waktu dan tenaga. Dalam penyusunan makalah ini juga menemukan beberapa kekurangan dalam penggunaaan metode tersebut sehingga terdapat kesulitan dalam penyusunan makalah. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan lebih menyederhanakan masalah menjadi lebih spesifik, sehingga penyusunan data menjadi lebih mudah. Selain itu, penyusunan makalah juga dibantu dengan membaca beberapa referensi buku yang ada sehingga sangat membantu dalam penyusunan makalah. Adapun metode diskusi kelompok dimana metode tersebut selalu digunakan dalam setiap pertemuan, terutama dalam merumuskan masalah serta dalam melengkapi penyusunan makalah ini.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Persyaratan Konservasi Secara Umum
Tujuan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken adalah sebagai berikut :
ü Melestarikan sumberdaya alam hayati dan ekosistem didalamnya. Hal ini dilakukan sebagai  suatu usaha dalam menjamin ketersediaan sumber makanan dari biota ekonomis untuk jangka panjang;
ü Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada disekitar daerah taman nasional, yaitu melalui efektifitas pola kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan tersebut berdasarkan prinsip konservasi;
ü Meningkatkan pendapatan daerah melalui pengembangan dan pengelolaan pariwisata alam dengan memanfaatkan keutuhan dan kelestarian ekosistem di dalam kawasan.
Metode konservasi biodiversitas (flora) dapat dibedakan menjadi dua,yaitu konservasi in situ (dalam habitat alaminya) dan ex situ (diluar habitat aslinya).
Ø Konservasi In-Situ
Konservasi in situ merupakan konservasi untuk pemeliharaan dan pemulihan populasi yang dilakukan pada suatu spesies target dalam ekosistem alami atau sesuai habitatnya di alam. Konservasi in situ juga dapat dilakukan pada tumbuhan meskipun berlaku untuk populasi yang dibiakkan secara alami, yaitu dengan penanaman yang dilakukan tanpa seleksi yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduktif lainnya dikumpulkan secara random atau acak.
Secara umum, metode konservasi in situ memiliki 3 ciri-ciri diantaranya adalah:
ü Spesies target yang dikonservasikan terdapat pada ekosistem di mana mereka tumbuh dan berkembang secara alami;
ü Tataguna lahan atau lokasi tempat konservasi tidak menimbulkan dampak yang merugikan pada tempat tujuan konservasi habitat;
ü Pemulihan dan pemeliharaan spesies yang dikonservasi terjadi secara alami atau tanpa manipulasi dari manusia atau intervensi terbatas pada langkah jangka pendek untuk menghindarkan faktor-faktor yang merugikan sebagai akibat dari tataguna lahan dari lahan yang berdekatan atau dari fragmentasi hutan. Contoh dari manipulasi yang mungkin perlu pada ekosistem yang telah berubah adalah regenerasi buatan menggunakan spesies lokal dan pengendalian gulma secara manual atau pembakaran untuk menekan spesies yang berkompetisi.
Persyaratan konservasi in situ dari spesies jarang (rare species) adalah dengan cara penaksiran maupun perancangan ukuran populasi minimum viable (viable population areas) dari spesies yang akan dikonservasi secara in situ. Untuk menjamin konservasi diversitas genetik yang besar di dalam spesies, beberapa area konservasi mungkin diperlukan, jumlah yang tepat dan ukurannya akan tergantung kepada distribusi diversitas genetik dari spesies yang dikonservasi. Penjagaan dan berfungsinya ekosistem pada konservasi in situ tergantung kepada pemahaman beberapa interaksi ekologi, terutama hubungan simbiotik di antara tumbuhan atau hewan, penyebaran biji, jamur yang berasosiasi dengan akar dan hewan yang hidup di dalam ekosistem.
Ø Konversi Ex-Situ
Konservasi ex-situ merupakan metode konservasi yang mengkonservasi spesies di luar distribusi alami dari populasi yang dahulu. Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan manusia. Kebun botani (raya), arboretum, kebun binatang dan aquarium merupakan metode konservasi ex-situ konvensional. Fasilitas ini menyediakan bukan hanya tempat terlindung dari spesimen spesies langka tetapi juga memiliki nilai pendidikan. Fasilitas ini memberikan informasi bagi masyarakat mengenai status ancaman pada spesies langka dan faktor-faktor yang menimbulkan ancaman dan membahayakan kehidupan spesies (Irwanto, 2007).
Irwanto (2007) lebih lanjut menjelaskan bentuk yang paling umum untuk konservasi ex-situ untuk pohon adalah tegakan hidup. Tegakan seperti ini sering kali bermula dari koleksi sumber benih dan dipelihara untuk pengamatan. Ukuran tegakan mungkin berkisar dari spesimen dalam kebun botani (raya) dan arboretum, sampai dengan beberapa pohon ornamental pada plot-plot kecil, atau plot-plot yang lebih besar untuk pohon. Tegakan hidup yang cukup luas untuk tujuan konservasi misalnya apa yang dinamakan tegakan konservasi. Ini merupakan konservasi yang bersifat evolusinari dan berlawanan dengan konservasi statik dalam arti memiliki tujuan mendukung perubahan genetik sejauh hal ini berkontribusi pada adaptasi yan berkelanjutan. Konservasi evolusinari ini memiliki ciri:
ü  Pohon-pohon bereproduksi melalui benih dari satu generasi ke generasi berikutnya; gen akan terkonservasi tetapi genotipe tidak, karena rekombinasi gen akan terjadi pada setiap generasi.
ü  Intervensi manusia bila ada, dirancang untuk memfasilitasi proses genetik yang moderat daripada menghindarkannya.
ü  Variasi genetik di antara populasi dari lingkungan yang berbeda secara umum dipertahankan.
II. Terumbu Karang
Berbagai macam fungsi terumbu karang di alam dan bermanfaat bagi manusia. Beberapa fungsi terumbu karang adalah sebagai pelindung ekosistem pantai.Terumbu karang akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya. Selain itu terumbu karang sebagai penghasil oksigen.Terumbu karang memiliki kemampuan untuk memproduksi oksigen sama sepertii fungsi hutan di daratan, sehingga menjadi habitat yang nyaman bagi biota laut. Terumbu karang juga sebagai habitat bagi banyak jenis makhluk hidup. Terumbu karang menjadi tempat bagi hewan dan tanaman yang berkumpul untuk mencari makan, berkembang biak, membesarkan anaknya, dan berlindung. Bagi manusia, ini artinya terumbu karang mempunyai potensial perikanan yang sangat besar, baik untuk sumber makanan maupun mata pencaharian mereka. Fungsi terumbu karang yang dimanfaatkan oleh manusia lainnya adalah sebagai sumber obat-obatan.  Pada terumbu karang banyak terdapat bahan-bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi obat bagi manusia, daerah penelitian, objek wisata, maupun nilai spiritual.
A. Persyaratan Hidup Terumbu Karang
1. Suhu
Terumbu karang pada ummunya terbatas pada suhu perairan antara 18-36°C, nilai optimal antara 26-28°C. Hal ini selanjutnya akan diekspresikan dalam pola  distribusi dan keragaman terumbu karang secara latitudinal (Hubbard, 1990).
2. Salinitas
            Salnitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00 (Kinsman, 2004).
3. Cahaya
Cahaya secara ekologi merupakan pembatas dibandingkan semua parameter fisilca lingkungan larnnya. oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan adanya pembatasan secara fisik terhadap biogeografi karang secara horizontal. Kepentingan cahaya dari kajian biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dan proses simbiosis karang dengan zooxanthellae yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut dan dalam peranan cahaya bagi karang, hal ini sinergis dengan faktor sedimentasi yang pengaruhnya dapat menyebabkan rendahnya diversitas karang (Veron (1995).
4. Sedimen
Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Akvitas pertanian, pernbukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run-off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/han, seperti yang tercatat di sebelah timur Florida, Amerika Serikat (Reed, 1981 dalam Supriharyono, 2000).
B. Ancaman Terumbu Karang Secara Umum
Ancaman yang terjadi pada terumbu karang sering terjadi karena berbagai perubahan faktor lingkungan (fisika dan biologi) maupun kegiatan yang dilakukan oleh manusia.
1. Faktor Biologi
Nybakken (1998) menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem kehidupan yang ukurannya dapat bertambah atau berkurang sebagai akibat adanya interaksi yang kompleks antara faktor biologis dan fisik. Interaksi yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu :
a. Persaingan
Suatu keistimewaan pada ekosistem terumbu karang adalah bahwa pada ekosistem ini tidak terdapat tempat (relug) yang terluang karena semuanya telah ditutupi oleh karang. Persaingan untuk memperoleh cahaya yang cukup dapat terjadi antara jenis karang yang bercabang dan karang yang membentuk hamparan atau masif.
b. Pemangsaan
Secara visual terlihat bahwa ekosistem terumbu karang didominasi oleh karang dan ikan-ikan karang. Hal ini terjadi karena invertebrata-invertebrata lain tersembunyi dari penglihatan disebabkan besarnya tekanan pemangsaan pada terumbu. Jumlah hewan-hewan yang hidup di terumbu karang sangat banyak dan dapat di klasifikasikan sebagai predator. Predator yang mampu merusak koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu adalah bintang laut (Acanthaster plancii) dan berbagai jenis ikan.

c. Grazing
Alga Koralin merupakan kelompok yang sangat penting dalam membentuk dan memelihara terumbu, karena mampu mengendapkan CaCO3 tetapi alga cenderung untuk membentuk lapisan kulit yang keras dan menyebarkan menjadi lapisan tipis di atas terumbu, melekatkan beberapa keping menjadi satu. Grazing yang teratur terhadap alga koralin dilakukan oleh ikan-ikan famili Siganididae, Pomacentridae, Acanthuridae dan Scaridae serta bulu babi seperti Diadema sp. Pengaruh grazing oleh ikan-ikan Pomacentridae mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lambat karena secara selektif maupun tidak memakan alga yang membentuk hamparan dan mencegah ikan-ikan lain masuk ke wilayah tersebut. Akibatnya karang tersingkir dari daerah yang ditumbuhi alga secara berlebihan.
2. Faktor Fisik
Ditjen Konservasi dan Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) menyatakan kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh faktor fisik antara lain:
a. Kenaikan suhu air laut
Kenaikan suhu air laut berkisar 3-4oC dari suhu normal akibat peristiwa El- Nino dapat menyebabkan coral bleaching yang dapat diikuti oleh kemaitian karang. Karang di daerah tropis lebih sensitif terhadap perubahan suhu.
b. Pasang surut
Kematian karang akibat pasang surut dapat terjadi apabila terjadi pasang surut yang sangat rendah sehingga terumbu karang muncul diatas permukaan air. Kerusakan akibat pasang surut terendah dapat terjadi satu hingga dua kali dalah setahun dan meliputi area yang cukup luas.
c. Radiasi sinar ultra violet
Sinar UV A dan B merupakan sinar yang memiliki daya rusak terhadap sel-sel hidup. Biasanya terjadi karena karang terkena radiasi diatas batas normal (kemampuan karang beradaptasi) pada saat cuaca cerah, laut tenang dan air jernih. Ciri-ciri kematian karang akibat radiasi UV yaitu terjadinya coral bleaching meliputi daerah yang cukup luas, umumnya seragam dan mencapai tempat yang cukup dalam.
d. Penurunan salinitas
Secara fisik kematian karang karena penurunan salinitas dimulai dengan kontraksi polip karang untuk lebih mempersempit kontak dengan air laut bersalinitas rendah. Kontraksi polip akan mengurangi kecepatan fotosintesa sehingga mengurangi kecepatan respirasi. Karena karang tidak memiliki mekanisme osmose di dalam tubuhnya maka akan mengakibatkan lysis (pecahnya sel-sel karang dan mengakibatkan zooxhantellae keluar dari jaringan karang) sehingga karang akan mati.
e. Gunung berapi, gempa bumi, badai dan tsunami
Aktivitas alam seperti aktivitas gunung berapi, gempa bumi dan tsunami memiliki potensi perusakan terumbu karang yang akibatnya sangat besar. Tsunami yang terjadi di NAD pada tahun 2004 mengakibatkan terangkatnya haparan karang yang sangat luas di pesisir Kab. Simeuleue.
Menurut Anonim (2011b), ancaman yang disebabkan oleh aktivitas manusia adalah:
1.      Praktek penangkapan biota air dengan racun, dengan peledak, muroami.
2.      Sedimentasi, polusi, dan sampah.
3.      Pertambangan.
4.      Praktek tourism yang tidak berkelanjutan.
5.      Membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.
6.      Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan merusak terumbu karang yang berada dibawahnya.
7.      Pembangunan pemukiman, reklamasi pantai
8.      Penangkapan ikan dengan cara yang salah, seperti pemakian bom ikan.

III. Taman Nasional
Taman Nasional Bunaken merupakan taman nasional yang menjadi salah satu objek pariwisata yang menjadi unggulan di Indonesia. Taman nasional Bunaken memiliki ekosistem yang masih lestari dan alami, diantaranya adalah ekosistem terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, dan ekosistem pesisir. Menurut Anonim (2011a), Taman Nasional Bunaken memiliki 13 genera karang hidup di perairan yang didominasi oleh jenis terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Taman tersebut memiliki bagian yang menarik pada tebing karang vertikalnya, yaitu sampai sejauh 25-50 meter. Sekitar 91 jenis ikan terdapat di perairan Taman Nasional Bunaken, diantaranya ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih (Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa (Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ilagasi (Scolopsis bilineatus), dan lain-lain.
Menurut Laporan Pemantauan Kualitas Terumbu Karang di Taman Nasional Bunaken oleh Badan Lingkungan Hidup Sulawesi Utara tahun 2009, telah terjadi indikasi penurunan kualitas terumbu karang di Pulau Bunaken, bahkan status kualitas terumbu karang di pulau Bunaken kini sudah mulai memasuki kategori Poor (buruk). Berbagai kegiatan yang menyebabkan adanya kerusakan terumbu karang antara lain adalah:
1. Pemanfaatan karang hidup untuk bangunan
2. Pemanfaatan karang sebagai tempat tambatan tali/jangkar kapal dan sampah wisatawan
3. Pengeboman yang dilakukan untuk mendapatkan ikan di sekitar terumbu karang
4. Penggunaan racun sianida
5. Pengaruh global warming

BAB V
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
B.     SARAN
Kegiatan konservasi merupakan kegiatan yang dapat ditempuh dalam menjaga kelestarian alam baik untuk individu yang satu dengan individu lain yang saling berkaitan, sehingga diperlukan berbagai peran serta dari stakeholder terkait. Dengan adanya konservasi terumbu karang maka keberlanjutan dan optimalisasi yang dimiliki oleh terumbu karang dapat dijaga untuk dimanfaatkan oleh generasi penerus kita.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011a. Taman Nasional Bunaken http://www.dephut.go.id/informasi/tn%20indo-english/tn_bunaken.htm. Diakses tanggal 5 Juni 2011.

Anonim. 2011b. Terumbu Karang. http://www.scribd.com/doc/22751815/terumbukarang. Diakses tanggal 5 April 2011.
Anonim, 2011b. pengertian-definisi.blogspot.com/2010/11/konservasi-in-situ.html. Diakses Tanggal 5 Juni 2011.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. 2006. Pedoman Pelaksanaan Transplantasi Karang. Jakarta.
Hubbard, J.A.E.B. 1990. Sediment Rejection by Recent Scleractintian Corals: A key to Paleo-Environmental Reconstruction. Geol. Rundsch, 61: 598-626.

Irwanto. 2007. Konservasi Biodiversitas. Http://www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 30 Maret 2011.

Kinsman, D.J.J. 2004. Reef Coral Tolerance of High Temperature and Salinities. Nature, 202: 1280-1282.

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. (edisi terjemahan).
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta. 118 pp.

Veron JEN. 1995. Coral in Space and Time. Townsville: Australian Institute of Marine Science.












DAFTAR GAMBAR




Load disqus comments

0 comments