BAB I
LATAR BELAKANG
Perikanan di Indonesia
memiliki bermacam potensi yang terdapat didalamnya, salah satunya potensi dari
bidang perikanan berada di wilayah pesisir pantai. Daerah pesisir pantai
merupakan daerah yang berhubungan langsung dengan laut sehingga apabila dimanfaatkan
secara optimal dan berkelanjutan akan didapatkan hasil yang diharapkan.
Masyarakat pesisir sangat menggantungkan hidupnya pada potensi perikanan yang
berada di daerahnya, misalnya terumbu karang, hutan mangrove, maupun rumput
laut. Nilai ekonomi yang tinggi dalam pemanfaatan potensi tersebut sangat
tergantung dari berbagai macam faktor antara lain adalah modal usaha,
perijinan, iklim, ombak, angin, dsb. Salah satu cara yang dapat ditempuh agar
usaha dalam bidang perikanan dapat berjalan terus-menerus adalah dengan adanya
optimalisasi hasil yang diperoleh secara berkelanjutan dan bertanggung jawab,
serta adanya langkah konservasi dalam menjaga keberlangsungan pemanfaatan
sumberdaya perikanan tersebut.
Berbagai macam fungsi terumbu karang di alam dan bermanfaat bagi manusia.
Beberapa fungsi terumbu karang adalah sebagai pelindung ekosistem pantai.Terumbu karang akan menahan dan memecah energi
gelombang sehingga mencegah terjadinya
abrasi dan kerusakan di sekitarnya. Selain itu terumbu karang sebagai penghasil
oksigen.Terumbu karang memiliki kemampuan
untuk memproduksi oksigen sama seperti fungsi hutan di daratan, sehingga menjadi habitat yang nyaman bagi biota
laut. Terumbu karang juga sebagai habitat bagi banyak jenis makhluk hidup. Terumbu karang menjadi tempat bagi hewan dan tanaman
yang berkumpul untuk mencari makan, berkembang biak, membesarkan anaknya, dan
berlindung. Bagi manusia, terumbu karang mempunyai manfaat yang sangat besar,
baik untuk sumber makanan maupun mata pencaharian mereka. Fungsi
terumbu karang yang dimanfaatkan oleh manusia lainnya adalah sebagai sumber
obat-obatan, bahan bangunan, dan perindustrian. Pada
terumbu karang banyak terdapat bahan-bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi
obat bagi manusia, daerah penelitian, objek wisata, maupun nilai spiritual.
Menurut
Burke et al. (2002), terumbu karang
banyak tersebar di daerah tropis dan subtropics, terutama di dekat garis
khatulistiwa. Ekosistem hanya mampu tumbuh di perairan laut dangkal pada
kedalaman 18-29 m dengan suhu 21-29oC. Selain itu cahaya matahari
menjadi sumber kehidupan utama bagi alga untuk berfotosintesis. Hewan-hewan
yang hidup disini juga membutuhkan salinitas yang tinggi serta air bersih untuk
dapat bertahan hidup.
BAB II
STUDY AREA
Taman Nasional Bunaken
adalah taman laut yang terletak di Sulawesi Utara lebih tepatnya di kabupaten Minahasa, kotamadya Manado, Provinsi
Sulawesi Utara, Indonesia. Taman Nasional Bunaken menjadi habitat yang cocok
bagi bermacam-macam terumbu karang, ikan, dan biota lainnya. Taman Nasional
Bunaken secara resmi didirikan pada tahun 1991 yang ditunjuk Menteri Kehutanan
dengan SK No. 730/Kpts-II/1991dan pada tahun 2005 Indonesia mendaftarkan taman
nasional ini kepada UNESCO untuk dimasukan kedalam Situs Warisan Dunia.
Kondisi
Fisik
Menurut Anonim 2011a, luas taman
Nasional Bunaken sebesar 89.065 hektar dan memiliki letak geografis di 1°35’ -
1°49’ LU, 124°39’ - 124°35’ BT. Selain
itu, taman tersebut memiliki pulau-pulau yang dapat dilihat pada:
1.
Pada bagian Utara terdiri dari pulau Bunaken,
pulau Manado Tua, pulau Montehage, pulau Siladen, pulau Nain, pulau Nain Kecil,
dan sebagian wilayah pesisir Tanjung Pisok.
2.
Pada bagian Selatan meliputi sebagian
pesisir Tanjung Kelapa.
Taman Nasional Bunaken memiliki
temperatur udara antara 26° - 31°C, sehingga taman tersebut memiliki kondisi
yang sesuai bagi kehidupan organisme air yang hidup di perairan. Apabila
dilihat dari ketinggian tempat, Taman Nasional Bunaken memiliki ketinggian
antara 0 – 800 meter dpl. Taman tersebut
juga memiliki salinitas antara 33 - 35 °/OO dan kecerahan antara 10
- 30 m. Melalui besarnya salinitas dan kecerahan tersebut maka terumbu karang
yang terdapat di taman tersebut dapat berkembang secara baik. Sedangkan dilihat
dari pasang surut di taman tersebut memiliki pasang surut yang cukup tinggi
yaitu 2,5 meter dan dilihat dari curah hujan memiliki curah hujan antara 2.500
– 3.500 mm/tahun, namun setelah adanya global warming curah hujan berubah-ubah
dan sulit untuk diperkirakan.
BAB III
METODE
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini sebagian besar
diperoleh dengan penelusuran data dari internet.
Pemilihan metode tersebut didasarkan pada kemudahan serta akses yang cepat dalam pencarian data
sehingga lebih efisien waktu dan tenaga.
Dalam penyusunan makalah ini
juga menemukan beberapa kekurangan dalam penggunaaan metode tersebut
sehingga terdapat kesulitan dalam
penyusunan makalah. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan lebih
menyederhanakan masalah menjadi lebih spesifik, sehingga penyusunan data
menjadi lebih mudah. Selain itu, penyusunan makalah juga dibantu dengan membaca beberapa
referensi buku yang ada sehingga sangat membantu dalam penyusunan makalah.
Adapun metode diskusi kelompok
dimana metode tersebut selalu
digunakan dalam setiap pertemuan, terutama dalam merumuskan masalah serta dalam melengkapi penyusunan makalah
ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
I.
Persyaratan Konservasi Secara Umum
Tujuan
Pengelolaan Taman Nasional Bunaken adalah sebagai berikut :
ü Melestarikan
sumberdaya alam hayati dan ekosistem didalamnya. Hal ini dilakukan sebagai suatu usaha dalam menjamin ketersediaan sumber
makanan dari biota ekonomis untuk jangka panjang;
ü Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang berada disekitar daerah taman nasional, yaitu melalui
efektifitas pola kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan
tersebut berdasarkan prinsip konservasi;
ü Meningkatkan
pendapatan daerah melalui pengembangan dan pengelolaan pariwisata alam dengan
memanfaatkan keutuhan dan kelestarian ekosistem di dalam kawasan.
Metode konservasi
biodiversitas (flora) dapat dibedakan menjadi dua,yaitu konservasi in situ
(dalam habitat alaminya) dan ex situ (diluar habitat aslinya).
Ø Konservasi
In-Situ
Konservasi in situ merupakan
konservasi untuk pemeliharaan dan pemulihan populasi yang dilakukan pada suatu spesies
target dalam ekosistem alami atau sesuai habitatnya di alam. Konservasi in situ
juga dapat dilakukan pada tumbuhan meskipun berlaku untuk populasi yang
dibiakkan secara alami, yaitu dengan penanaman yang dilakukan tanpa seleksi
yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduktif
lainnya dikumpulkan secara random atau acak.
Secara umum, metode
konservasi in situ memiliki 3 ciri-ciri diantaranya adalah:
ü Spesies
target yang dikonservasikan terdapat pada ekosistem di mana mereka tumbuh dan
berkembang secara alami;
ü Tataguna
lahan atau lokasi tempat konservasi tidak menimbulkan dampak yang merugikan pada
tempat tujuan konservasi habitat;
ü Pemulihan
dan pemeliharaan spesies yang dikonservasi terjadi secara alami atau tanpa
manipulasi dari manusia atau intervensi terbatas pada langkah jangka pendek
untuk menghindarkan faktor-faktor yang merugikan sebagai akibat dari tataguna
lahan dari lahan yang berdekatan atau dari fragmentasi hutan. Contoh dari
manipulasi yang mungkin perlu pada ekosistem yang telah berubah adalah
regenerasi buatan menggunakan spesies lokal dan pengendalian gulma secara manual
atau pembakaran untuk menekan spesies yang berkompetisi.
Persyaratan
konservasi in situ dari spesies jarang (rare species) adalah dengan cara penaksiran
maupun perancangan ukuran populasi minimum viable (viable population areas)
dari spesies yang akan dikonservasi secara in situ. Untuk menjamin konservasi
diversitas genetik yang besar di dalam spesies, beberapa area konservasi
mungkin diperlukan, jumlah yang tepat dan ukurannya akan tergantung kepada
distribusi diversitas genetik dari spesies yang dikonservasi. Penjagaan dan
berfungsinya ekosistem pada konservasi in situ tergantung kepada pemahaman
beberapa interaksi ekologi, terutama hubungan simbiotik di antara tumbuhan atau
hewan, penyebaran biji, jamur yang berasosiasi dengan akar dan hewan yang hidup
di dalam ekosistem.
Ø Konversi
Ex-Situ
Konservasi ex-situ
merupakan metode konservasi yang mengkonservasi spesies di luar distribusi
alami dari populasi yang dahulu. Konservasi ini merupakan proses melindungi
spesies tumbuhan dan hewan (langka) dengan mengambilnya dari habitat yang tidak
aman atau terancam dan menempatkannya atau bagiannya di bawah perlindungan
manusia. Kebun botani (raya), arboretum, kebun binatang dan aquarium merupakan
metode konservasi ex-situ konvensional. Fasilitas ini menyediakan bukan hanya
tempat terlindung dari spesimen spesies langka tetapi juga memiliki nilai
pendidikan. Fasilitas ini memberikan informasi bagi masyarakat mengenai status
ancaman pada spesies langka dan faktor-faktor yang menimbulkan ancaman dan
membahayakan kehidupan spesies (Irwanto, 2007).
Irwanto (2007) lebih
lanjut menjelaskan bentuk yang paling umum untuk konservasi ex-situ untuk pohon
adalah tegakan hidup. Tegakan seperti ini sering kali bermula dari koleksi
sumber benih dan dipelihara untuk pengamatan. Ukuran tegakan mungkin berkisar
dari spesimen dalam kebun botani (raya) dan arboretum, sampai dengan beberapa
pohon ornamental pada plot-plot kecil, atau plot-plot yang lebih besar untuk
pohon. Tegakan hidup yang cukup luas untuk tujuan konservasi misalnya apa yang
dinamakan tegakan konservasi. Ini merupakan konservasi yang bersifat
evolusinari dan berlawanan dengan konservasi statik dalam arti memiliki tujuan
mendukung perubahan genetik sejauh hal ini berkontribusi pada adaptasi yan
berkelanjutan. Konservasi evolusinari ini memiliki ciri:
ü Pohon-pohon
bereproduksi melalui benih dari satu generasi ke generasi berikutnya; gen akan
terkonservasi tetapi genotipe tidak, karena rekombinasi gen akan terjadi pada
setiap generasi.
ü Intervensi
manusia bila ada, dirancang untuk memfasilitasi proses genetik yang moderat
daripada menghindarkannya.
ü Variasi
genetik di antara populasi dari lingkungan yang berbeda secara umum
dipertahankan.
II.
Terumbu Karang
Berbagai macam fungsi terumbu karang di alam dan bermanfaat bagi manusia.
Beberapa fungsi terumbu karang adalah sebagai pelindung ekosistem pantai.Terumbu karang akan menahan dan memecah energi
gelombang sehingga mencegah terjadinya
abrasi dan kerusakan di sekitarnya. Selain itu terumbu karang sebagai penghasil
oksigen.Terumbu karang memiliki kemampuan
untuk memproduksi oksigen sama sepertii fungsi hutan di daratan, sehingga menjadi habitat yang nyaman bagi biota
laut. Terumbu karang juga sebagai habitat bagi banyak jenis makhluk hidup. Terumbu karang menjadi tempat bagi hewan dan tanaman
yang berkumpul untuk mencari makan, berkembang biak, membesarkan anaknya, dan
berlindung. Bagi manusia, ini artinya terumbu karang mempunyai potensial
perikanan yang sangat besar, baik untuk sumber makanan maupun mata pencaharian
mereka. Fungsi
terumbu karang yang dimanfaatkan oleh manusia lainnya adalah sebagai sumber
obat-obatan. Pada terumbu karang banyak terdapat bahan-bahan
kimia yang diperkirakan bisa menjadi obat bagi manusia, daerah penelitian,
objek wisata, maupun nilai spiritual.
A.
Persyaratan Hidup Terumbu Karang
1.
Suhu
Terumbu
karang pada ummunya terbatas pada suhu perairan antara 18-36°C, nilai optimal
antara 26-28°C. Hal ini selanjutnya akan diekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang
secara latitudinal (Hubbard, 1990).
2.
Salinitas
Salnitas
diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas
air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00,
dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00
(Kinsman, 2004).
3.
Cahaya
Cahaya
secara ekologi merupakan pembatas dibandingkan semua parameter fisilca
lingkungan larnnya. oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan adanya pembatasan
secara fisik terhadap biogeografi karang secara horizontal. Kepentingan cahaya
dari kajian biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dan proses
simbiosis karang dengan zooxanthellae yang
berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri.
Terkait dengan hal tersebut dan dalam peranan cahaya bagi karang, hal ini sinergis
dengan faktor sedimentasi yang pengaruhnya dapat menyebabkan rendahnya diversitas
karang (Veron (1995).
4. Sedimen
Sedimentasi
merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan
aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan,
pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen
(terrigenoua sediments) ke perairan
pantai atau ke daerah terumbu karang. Akvitas pertanian, pernbukaan lahan dan pengolahan
tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan
(run-off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi,
yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/han, seperti yang tercatat di sebelah timur
Florida, Amerika Serikat (Reed, 1981 dalam Supriharyono, 2000).
B. Ancaman Terumbu Karang Secara Umum
Ancaman yang terjadi
pada terumbu karang sering terjadi karena berbagai perubahan faktor lingkungan
(fisika dan biologi) maupun kegiatan yang dilakukan oleh manusia.
1. Faktor Biologi
Nybakken (1998)
menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem kehidupan yang
ukurannya dapat bertambah atau berkurang sebagai akibat adanya interaksi yang
kompleks antara faktor biologis dan fisik. Interaksi yang terjadi dalam
ekosistem terumbu karang dapat dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu :
a. Persaingan
Suatu
keistimewaan pada ekosistem terumbu karang adalah bahwa pada ekosistem ini
tidak terdapat tempat (relug) yang terluang karena semuanya telah ditutupi oleh
karang. Persaingan untuk memperoleh cahaya yang cukup dapat terjadi antara
jenis karang yang bercabang dan karang yang membentuk hamparan atau masif.
b. Pemangsaan
Secara visual terlihat bahwa ekosistem terumbu karang didominasi
oleh karang dan ikan-ikan karang. Hal ini terjadi karena
invertebrata-invertebrata lain tersembunyi dari penglihatan disebabkan besarnya
tekanan pemangsaan pada terumbu. Jumlah hewan-hewan yang hidup di terumbu
karang sangat banyak dan dapat di klasifikasikan sebagai predator. Predator
yang mampu merusak koloni karang dan memodifikasi struktur terumbu adalah
bintang laut (Acanthaster plancii) dan
berbagai jenis ikan.
c. Grazing
Alga
Koralin merupakan kelompok yang sangat penting dalam membentuk dan memelihara
terumbu, karena mampu mengendapkan CaCO3 tetapi alga cenderung untuk membentuk
lapisan kulit yang keras dan menyebarkan menjadi lapisan tipis di atas terumbu,
melekatkan beberapa keping menjadi satu. Grazing yang teratur terhadap alga
koralin dilakukan oleh ikan-ikan famili Siganididae, Pomacentridae,
Acanthuridae dan Scaridae serta bulu babi seperti Diadema sp. Pengaruh grazing
oleh ikan-ikan Pomacentridae mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lambat
karena secara selektif maupun tidak memakan alga yang membentuk hamparan dan
mencegah ikan-ikan lain masuk ke wilayah tersebut. Akibatnya karang tersingkir
dari daerah yang ditumbuhi alga secara berlebihan.
2. Faktor Fisik
Ditjen Konservasi dan
Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) menyatakan
kerusakan ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh faktor fisik antara
lain:
a. Kenaikan suhu air
laut
Kenaikan suhu air
laut berkisar 3-4oC dari suhu normal
akibat peristiwa El- Nino dapat menyebabkan coral bleaching yang dapat diikuti
oleh kemaitian karang. Karang di daerah tropis lebih sensitif terhadap
perubahan suhu.
b. Pasang surut
Kematian karang
akibat pasang surut dapat terjadi apabila terjadi pasang surut yang sangat
rendah sehingga terumbu karang muncul diatas permukaan air. Kerusakan akibat
pasang surut terendah dapat terjadi satu hingga dua kali dalah setahun dan
meliputi area yang cukup luas.
c. Radiasi sinar
ultra violet
Sinar UV A dan B
merupakan sinar yang memiliki daya rusak terhadap sel-sel hidup. Biasanya
terjadi karena karang terkena radiasi diatas batas normal (kemampuan karang
beradaptasi) pada saat cuaca cerah, laut tenang dan air jernih. Ciri-ciri
kematian karang akibat radiasi UV yaitu terjadinya coral bleaching meliputi
daerah yang cukup luas, umumnya seragam dan mencapai tempat yang cukup dalam.
d. Penurunan
salinitas
Secara fisik kematian
karang karena penurunan salinitas dimulai dengan kontraksi polip karang untuk
lebih mempersempit kontak dengan air laut bersalinitas rendah. Kontraksi polip
akan mengurangi kecepatan fotosintesa sehingga mengurangi kecepatan respirasi.
Karena karang tidak memiliki mekanisme osmose di dalam tubuhnya maka akan
mengakibatkan lysis (pecahnya sel-sel karang dan mengakibatkan zooxhantellae
keluar dari jaringan karang) sehingga karang akan mati.
e. Gunung berapi,
gempa bumi, badai dan tsunami
Aktivitas
alam seperti aktivitas gunung berapi, gempa bumi dan tsunami memiliki potensi
perusakan terumbu karang yang akibatnya sangat besar. Tsunami yang terjadi di
NAD pada tahun 2004 mengakibatkan terangkatnya haparan karang yang sangat luas
di pesisir Kab. Simeuleue.
Menurut
Anonim (2011b), ancaman yang disebabkan oleh aktivitas manusia adalah:
1.
Praktek
penangkapan biota air dengan racun, dengan peledak, muroami.
2.
Sedimentasi,
polusi, dan sampah.
3.
Pertambangan.
4.
Praktek tourism
yang tidak berkelanjutan.
5.
Membuang sampah
ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.
6.
Membuang jangkar
pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan merusak terumbu karang yang
berada dibawahnya.
7.
Pembangunan
pemukiman, reklamasi pantai
8.
Penangkapan ikan
dengan cara yang salah, seperti pemakian bom ikan.
III.
Taman Nasional
Taman Nasional Bunaken merupakan taman nasional yang
menjadi salah satu objek pariwisata yang menjadi unggulan di Indonesia. Taman
nasional Bunaken memiliki ekosistem yang masih lestari dan alami, diantaranya
adalah ekosistem terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, dan ekosistem
pesisir. Menurut Anonim (2011a),
Taman Nasional Bunaken memiliki 13 genera karang hidup di perairan yang
didominasi oleh jenis terumbu karang tepi dan terumbu karang penghalang. Taman
tersebut memiliki bagian yang menarik pada tebing karang vertikalnya, yaitu
sampai sejauh 25-50 meter. Sekitar 91 jenis ikan terdapat di perairan Taman
Nasional Bunaken, diantaranya ikan kuda gusumi (Hippocampus kuda), oci putih
(Seriola rivoliana), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), goropa
(Ephinephelus spilotoceps dan Pseudanthias hypselosoma), ilagasi (Scolopsis
bilineatus), dan lain-lain.
Menurut
Laporan Pemantauan Kualitas Terumbu Karang di Taman Nasional Bunaken oleh Badan
Lingkungan Hidup Sulawesi Utara tahun 2009, telah terjadi indikasi penurunan
kualitas terumbu karang di Pulau Bunaken, bahkan status kualitas terumbu karang
di pulau Bunaken kini sudah mulai memasuki kategori Poor (buruk).
Berbagai kegiatan yang menyebabkan adanya kerusakan terumbu karang antara lain
adalah:
1. Pemanfaatan karang hidup untuk
bangunan
2. Pemanfaatan karang sebagai tempat
tambatan tali/jangkar kapal dan sampah wisatawan
3. Pengeboman yang dilakukan untuk
mendapatkan ikan di sekitar terumbu karang
4. Penggunaan racun sianida
5. Pengaruh global warming
BAB V
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B.
SARAN
Kegiatan
konservasi merupakan kegiatan yang dapat ditempuh dalam menjaga kelestarian
alam baik untuk individu yang satu dengan individu lain yang saling berkaitan,
sehingga diperlukan berbagai peran serta dari stakeholder terkait. Dengan adanya konservasi terumbu karang maka
keberlanjutan dan optimalisasi yang dimiliki oleh terumbu karang dapat dijaga
untuk dimanfaatkan oleh generasi penerus kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2011a. Taman
Nasional Bunaken http://www.dephut.go.id/informasi/tn%20indo-english/tn_bunaken.htm.
Diakses tanggal 5 Juni 2011.
Anonim. 2011b. Terumbu Karang. http://www.scribd.com/doc/22751815/terumbukarang.
Diakses tanggal 5 April 2011.
Anonim,
2011b. pengertian-definisi.blogspot.com/2010/11/konservasi-in-situ.html.
Diakses Tanggal 5 Juni 2011.
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. 2006. Pedoman Pelaksanaan Transplantasi Karang.
Jakarta.
Hubbard,
J.A.E.B. 1990. Sediment Rejection by
Recent Scleractintian Corals: A key to Paleo-Environmental Reconstruction.
Geol. Rundsch, 61: 598-626.
Irwanto.
2007. Konservasi Biodiversitas. Http://www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 30
Maret 2011.
Kinsman,
D.J.J. 2004. Reef Coral Tolerance of High
Temperature and Salinities. Nature, 202: 1280-1282.
Nybakken, J. W. 1998. Biologi
Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. (edisi
terjemahan).
Supriharyono.
2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta. 118 pp.
Veron
JEN. 1995. Coral in Space and Time.
Townsville: Australian Institute of Marine Science.
DAFTAR GAMBAR
0 comments