Kalau hari ini mau nulis apa ya, ngumpulin laporan seminar 1 sks jaman kuliah ajalah...buat teman-teman perikanan untuk tugas penangkapan ikan juga bisa, semoga bermanfaat, jangan lupa apresiasi komen atau sharing ke facebook/twitter/path/apa pun. terima kasih..
I. KONSTRUKSI DAN TEKNIK BUBU (Traps and Pot)
A.
Konstruksi Bubu
Bubu
merupakan alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan variasi bentuknya
banyak sekali, hamper setiap daerah perikanan mempunyai model bentuk sendiri.
Bentuk bubu ada yang seperti: sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang,
segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dan
lain-lainnya. Bahan bubu umumnya dari anyaman bambu (bamboo’s splitting
or-screen). Secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian badan (body),
mulut (funnel) atau ijeb, dan pintu (Partosuwiryo, 2002).
Bubu dapat digunakan
untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan
bubu konvensional adalah pemasangan biasanya menggunakan karang sebagai jangkar
penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu
diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang
telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan
menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup-hidup dan hanya ikanikan
jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata
jaring) (IMAI, 2001).
Umumnya bubu digunakan
terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Badan atau tubuh bubu
Badan atau tubuh bubu
umumnya terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk empat persegi panjang. Bagian
ini dilengkapi pemberat dari batu bata (atau pemberat lain) yang terletak pada
keempat sudut bambu agar bubu dapat tenggelam ke dasar perairan.
2. Lubang tempat mengeluarkan hasil
tangkapan
Lubang tempat
mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah bubu. Lubang ini
posisinya tepat di belakang mulut bubu dan dilengkapi dengan penutup.
3. Mulut Bubu
Mulut bubu berfungsi
untuk tempat masuknya ikan yang terletak pada bagian depan badang bubu. Posisi
mulut bubu mejorok ke dalam badan atau tubuh bubu berbentuk silinder. Semakin
ke dalam diameter lubangnya semakin mengecil. Pada mulut bagian dalam
melengkung ke bawah. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk
meloloskan diri ( Sudirman dan Mallawa, 2004).
Gambar
1. Mulut bubu dan arah masuk ikan
(FAO,
2007)
Gambar
2. Bagian bubu secara keseluruhan
(FAO,
2007)
Gambar 3.
Jenis-Jenis Bubu
(Partosuwiryo,
2008)
B.
Teknik Pengoperasian Bubu
Subani dan Barus (1989) membedakan bubu menjadi tiga
golongan berdasarkan cara pengoperasiannya, yaitu bubu dasar (ground fishpot),
bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot).
Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah,
setiap satu bubu dengan satu tali pelampung atau single traps; dan
beberapa bubu dirangkaikan menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut main
line traps.
1. Bubu Dasar
Bubu
dasar bervariasi menurut besar kecilnya penggunaan sesuai dengan kebutuhan.
Bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm, dan tinggi diantara
25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, dan
tinggi antara 75-100 cm. Bahan yang digunakan pada bubu dasar biasanya berupa
kawat, besi, ataupun bambu. Dalam pengoperasiaannya, penangkapan yang dilakukan
dapat dilakukan tunggal(umumnya bubu ukuran besar), dapat pula berganda
(umumnya bubu kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan
tali yang memiliki jarak tertentu kemudiaan diikatkan dengan bubu tersebut.
Bubu dasar ditempatkan diantara karang-karang atau bebatuan, dan untuk
memudahkan penempatan bubu tersebut dipasangkan tali yang dipasang dengan
pelampung kemudian diikatkan di bubu tersebut. Tahap pengambilan hasil
tangkapan setelah pemasangan bubu yaitu setelah 2-3 hari atau beberapa hari
setelah bubu dipasang.
Menurut
statistik perikanan, Ditjenkan (1986) cit.
(Partosuwiryo, 2002) jumlah bubu yang tercatat sejumlah 7.062 unit (jumlah
seluruh alat penangkap 452.845 unit) dengan produksi 16.871 ton.
Kelebihan bubu dasar:
·
Dapat menangkap ikan yang tergolong ikan
dasar perairan maupun permukaan perairan.
·
Relatif murah dan mudah cara
pengoperasiannya.
·
Cukup efektif dan efisien untuk
tangkapan ikan atau kepiting yang berada di dasar perairan.
Kelemahan bubu dasar:
·
Dapat terbawa arus dasar perairan
apabila arus terlalu deras dan tidak diikatkan oleh media yang tetap (batang
pohon, bambu, atau kayu)
·
Apabila tidak ada penanda khusus, bubu
mungkin dapat hilang diambil/dicuri orang.
·
Apabila ada penanda khusus namun hilang,
maka bubu juga sulit untuk proses hauling.
·
Apabila bubu yang digunakan dari bahan
yang mudah berkarat (korosi) dan tidak segera diambil maka dapat merusak
terumbu karang.
Gambar 4. Bentuk bubu yang banyak
dipakai di Indonesia
(Anonim, 1975)
Gambar 5. Bubu segi empat saat
dioperasikan (bawah) dan pemasangan bubu sistem tunggal (atas)
(Partosuwiryo, 2008)
Gambar 6. Bubu silinder (kiri)
dan cara pengoperasiannya (kanan)
(FAO, 2001)
2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Tipe
bubu apung berbeda dengan bubu dasar karena bubu jenis ini dilengkapi dengan
pelampung dari bambu, rakit, gabus, dan berbagai bahan yang mengapung lainnya.
Penempatan pelampung yaitu dengan ditempatkan diatas atau disamping bubu
sehingga mengapung. Selain itu, bubu juga dapat ditempatkan di bawah
rakit-rakit bambu kemudian rakit tersebut dilabuh melalui tali panjang dan
dihubungkan dengan jangkar. Perlu diperhatikan dalam pemasangan tali harus
disesuaikan dengan kedalaman air. Biasanya dalam pemasangan tali jangkar dan
rakit bubu yaitu 1,5 kali dari kedalaman air atau dapat dikatakan tali lebih
panjang dari kedalaman air. Jangkar yang digunakan dapat berupa batu, besi,
atau pemberat lainnya agar rakit yang dipasang bubu dalam kondisi tetap dan
tidak berpindah terlalu jauh dari lokasi pemasangan bubu. Beberapa jenis ikan
yang tertangkap dengan bubu terapung adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti
ikan tembang, japuh, julung-julung, selar, kembung, torani, malalugis, dan
lain-lainnya.
Kelebihan bubu apung:
·
Dapat menangkap ikan dari berbagai
lapisan (dasar, tengah, permukaan) perairan.
·
Lebih murah daripada bubu hanyut namun
tidak lebih murah dari bubu dasar.
·
Cukup efektif dan efisien untuk hasil
tangkapan ikan lapisan tengah perairan.
Kelemahan bubu apung:
·
Dapat terbawa arus dasar dan permukaan perairan
apabila tali yang diikatkan pada batang pohon, bambu, atau kayu terlepas/putus.
·
Apabila tidak ada penanda khusus, bubu
mungkin dapat hilang diambil/dicuri orang.
·
Apabila pelampung hilang terbawa arus,
maka bubu akan tenggelam dan sulit untuk proses hauling.
Gambar 7. Cara pengoperasian bubu
apung
(FAO, 2001)
3. Bubu Hanyut ( Drifting Fish Pots)
Bubu
hanyut merupakan sebutan dari salah satu jenis bubu karena dalam
pengoperasiannya adalah dengan dihanyutkan. Beberapa jenis bubu yang dapat
digolongkan dalam bubu hanyut adalah pajaka, luka, atau patorani. Bubu patorani
dipergunakan untuk penangkapan ikan torani, tuing-tuing, atau ikan terbang.
Bubu pajaka tergolong dalam bubu ukuran kecil namun pada waktu penangkapan
diatur dalam kelompok-kelompok yang kemudian dirangkaikan sehingga jumlahnya
menajadi relatif banyak dan lebih efektif serta efisien. Bubu jenis pajaka
umumnya disusun antara 20-30 buah tergantung besar kecilnya kapal yang
digunakan untuk operasi penangkapan.
Menurut
Partosuwiryo (2002), operasional penangkapan bubu jenis pajaka dilakukan
sebagai berikut:
1. Pada sekeliling mulut pajaka diikatkan rumput
laut atau “gusung/gosek” (bahasa Sulsel).
2. Pajaka disusun dalam 3 kelompok yang satu dengan
lainnya berhubungan melalui tali penonda (drifting line).
3. Penyusunan kelompok (contoh: misalnya ada kurang
lebih 20 buah bubu), 10 buah bubu diikatkan pada ujung tali penonda terakhir,
kelompok berikutnya terdiri dari 8 buah dan selanjutnya 4 buah lalu
disambungkan dengan tali penonda yang langsung dihubungkan (diikat) dengan
perahu penangkap dan diulur antara 60-150 m.
Kelebihan bubu hayut:
·
Dapat menangkap ikan dari berbagai
lapisan tengah dan permukaan perairan.
·
Cukup efektif dan efisien untuk hasil
tangkapan ikan lapisan tengah dan permukaan perairan.
·
Hasil yang didapatkan bervariatif
tergantung fishing ground kapal.
Kelemahan bubu apung:
·
Relatif mahal karena memerlukan perahu
dalam pengoperasaiannya.
·
Apabila bubu yang terpasang dengan tali
pada kapal putus, maka bubu akan hanyut atau tenggelam.
·
Apabila kapal mengalami kerusakan maka
proses pencarian ikan dengan bubu dapat dihentikan secara tiba-tiba.
Gambar 8. Bubu hanyut dan
pemasangannya di permukaan air
(Anonim, 1975)
C.
Prinsip Penangkapan
Penangkapan
ikan dengan bubu tergantung dari tipe bubu yang digunakan, yaitu bubu
tenggelam, bubu terapung, ataupun bubu hanyut. Pada dasarnya prinsip
penangkapan ikan dengan bubu memakan tunggu waktu lebih dari 1 hari atau
beberapa hari. Hal ini dikarenakan bubu merupakan alat tangkap pasif yang hanya
menghadang dan merupakan perangkap (jebakan) bagi ikan. Semua jenis dan tipe
bubu menggunakan media untuk menarik ikan atau biota air lainnya agar tertarik
untuk datang ke dalam bubu, selain itu media umpan disesuaikan pula dengan ikan
yang akan ditangkap. Umpan yang digunakan antara lain adalah daging ayam,
daging hewan, ataupun lainnya yang dapat menarik ikan masuk ke dalam bubu.
Penangkapan
ikan menggunakan bubu pada daerah karang memiliki prinsip penangkapan yang
sistematis. Langkah awal yaitu mencari dan menentukan karang yang subur yang
akan dipasang bubu. Bubu yang digunakan berkisar ± 4 buah, dan dilabuh sampai
dasar perairan. Bubu yang satu dengan yang lainnya dikaitkan dengan tali,
selain itu dipasangkan pula pada masing-masing bubu tali lengkap dengan
pelampungnya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan sesuai waktu
penangkapan. Cara yang digunakan tersebut tergolong tidak efektif karena sering
hilang akibat dicuri oleh orang lain. Oleh karena itu, umtuk mencegahnya tali
pengapung diperpendek sehingga tidak akan terlihat di permukaan perairan dan
hanya diketahui pemiliknya saja.
Langkah terakhir dalam
penangkapan menggunakan bubu yaitu di dalam bubu diberi umpan dengan cara
digantung untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi sebelum bubu dipasang.
Bubu dapat diangkat menggunakan tali pengait setelah beberapa hari bedara di
laut. Tali bubu dikait, kemudian ditarik ke atas perahu. Ikan0ikan yang
diperoleh segera dikeluarkan dari bubu dan bubu tersebut diturunkan lagi ke
dalam air bula ternyata hasil yang diperoleh kurang memuaskan. Tetapi jika
hasil yang diperoleh sedikit, bubu tersebut dipindahkan ke daerah penangkapan
lain (Partosuwiryo, 2008).
D.
Alat Bantu dan Daerah Penangkapan Bubu
Pengoperasian
bubu tradisional umumnya tanpa menggunakan alat bantu, namun dengan
berkembangnya pengetahuan sehingga dapat menggunakan alat bantu penangkapan.
Alat bantu penangkapan dapat dipergunakan untuk membantu leancaran operasi
penangkapan serta meningkatkan jumlah tangkapan ikan. Alat bantu yang digunakan
pada bubu adalah menggunakan GPS (Global
Positioning System). GPS digunakan untuk menentukan dan mencari posisi bubu
pada saat setting dan hauling. Manfaat yang didapatkan dengan alat tersebut adalah pada saat
pengoperasian bubu akan memudahkan menghafal daerah atau tempat pengoperasian
bubu sampai pengangkatan bubu sehingga tidak terjadi hilangnya bubu karena
faktor human error (kelupaan).
Alat bantu lainnya selain GPS adalah penggunaan pakan ikan tenggelam
ataupun terapung yang ditebar disekitar bubu. Hal ini digunakan untuk menarik
ikan ke sekitar bubu dan kemudian ikan dapat tertarik masuk ke dalam bubu.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah penebaran pakan tersebut harus
secukupnya (tidak terlalu banyak). Cara yang satu ini menjadi cara yang cukup
efektif untuk memperoleh ikan dengan jumlah yang cukup banyak.
Daerah penangkapan ikan dengan bubu dilakukan dengan pemilihan lokasi
yang tepat, dapat pula disembarang tempat dimana lokasi penangkapan disesuaikan
kebiasaan ikan tinggal. Tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk penangkapan
ikan yaitu di daerah berbatu ataupun disekitar terumbu karang. Apabila
diletakkan di karang-karang sebaiknya peletakkan bubu dan jangkar pada bubu
diletakkan dengan benar agar tidak merusak terumbu karang. Menurut Arthur
(1976), persyaratan daerah penangkapan antara lain adalah (1) adanya ikan yang
ditangkap, (2) ikan-ikan tersebut dapat ditangkap sesuai dengan sasaran
penangkapan, (3) penangkapan dapat dilakukan secara terus-menerus, (4) hasil
penangkapan menguntungkan, (5) alat tangkap dapat dioperasikan dengan aman dan
mudah, (6) dekat dengan pusat pendaratan ikan atau pelabuhan.
E. Aplikasi Bubu
Penggunaan bubu pada dasarnya
dipilih berdasarkan kemampuan finansial pembuatan bubu dan keadaan lokasi
penangkan ikan. Salah satu konstruksi
dasar yang banyak dipilih dari pembuatan dan permodelan bubu adalah penggunaan
bambu, jaring, kawat atau besi. Berikut ini adalah hasil dari sebuah aplikasi
bubu dari bambu dan jaring untuk kegiatan penangkapan ikan.
1. Bubu
Jaring dan Bubu Bambu Dengan Kapal/Perahu
Gambar
9. Bubu jaring (kiri) dan bubu bambu (kanan) sebelum dioperasikan
(Zulkarnaen,
2007)
Pada gambar kiri adalah bubu jaring
dan gambar kanan adalah bubu bambu sebelum dioperasikan. Penempatan bubu
sebelum dioperasikan diletakkan di atas kapal/perahu, kemudia dibawa ke fishing
ground atau daerah penangkapan ikan. Sebelum membawa ke daerah penangkapan maka
bubu dicek terlebih dahulu agar pada saat setting ikan dapat terperangkap
dengan baik atau tidak lolos melalui kerusakan bubu.
Gambar
10. Kapal penangkap ikan dengan bubu
(FAO,
2001)
Kapal penangkap ikan dengan bubu
dibuat sedemikian rupa agar pada saat proses setting sampai hauling dapat
berjalan lancar. Penempatan ikan yang masih hidup dan ikan beku seperti gambar
diatas membutuhkan modal yang cukup besar sehingga kebanyakan nelayan hanya
menggunakan ikan segar yang dimasukkan dalam ice box.
2.
Pengoperasian Bubu Jaring dan Bubu Bambu
Gambar
11. Setting bubu jaring (kiri) dan bubu bambu (kanan)
(Zulkarnaen,
2007)
Pada gambar kiri merupakan setting
bubu jaring dan sebelah kanan adalah bubu bambu. Sebelum setting bubu, terlebih dahulu dikaitkan pada sebuah
tali dan penanda yang mengapung (pelampung). Cara setting bubu adalah
dengan dijatuhkan dari atas kapal dengan jarak tertentu disesuaikan dengan kedalaman
perairan. Hal ini dikarenakan bubu yang dijatuhkan dari atas kapal disesuaikan
dengan ikan yang akan ditangkap, misalnya kakap merah, kerapu, dll.
Gambar
12. jangkar bubu jaring dan bambu
(Zulkarnaen,
2007)
Pada gambar terdapat arit yang
terdiri dari jangkar dan pemberat yang digunakan pada saat proses hauling.
Setelah proses setting bubu jaring ataupun bambu, arit dijatuhkan
kemudian kapal bergerak perlahan disekitar lokasi peletakan bubu. Apabila arit
sudah tersangkut di bubu jaring ataupun bambu maka akan terjadi proses hauling
dan kapal dihentikan untuk sementara waktu.
Gambar 13. GPS untuk
mengetahui lokasi penurunan bubu jaring dan bambu
(Zulkarnaen, 2007)
Alat bantu GPS (Global
Positioning System) digunakan untuk melihat posisi peletakan bubu.
Peletakan lokasi bubu ditandai dengan menggunakan GPS sehingga dapat terlacak
keberadaan bubu. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila pelampung tanda
pada bubu hilang. Setelah diketahui posisi bubu dengan GPS, maka dapat
dilakukan proses Hauling.
Gambar 14. Proses hauling
bubu jaring dan bambu
(Zulkarnaen, 2007)
Proses Hauling pada bubu
dilakukan dengan mengetahui posisi bubu terlebih dahulu dengan GPS. Langkah
selanjutnya adalah menurunkan arit yang dilengkapi tali yang lebih dari
kedalaman perairan. Setelah arit tersangkut pada bubu maka dilakukan proses
penarikan tali hingga bubu naik ke atas kapal. Tali yang ditarik ke atas kapal dibantu
orang lain untuk penggulungan tali agar tidak kusut dan tersangkut. Proses hauling
dilakukan sampai bubu yang dijatuhkan pada saat setting dapat
terangkat ke atas kapal semua. Apabila bubu sudah berada pada kapal, ikan hasil
tangkapan selanjutnya dimasukkan ke dalam es (cool box). Hasil tangkapan
ikan tiap bubu terkadang belum memuaskan, sehingga dilakukan setting
ulang hingga proses hauling sampai ikan hasil tangkapan cukup memuaskan.
Gambar
15. Ikan tangkapan (kiri)
(Zulkarnaen, 2007)
Gambar 16. Penyusunan ice box untuk ikan
segar (kanan)
(FAO,
2001)
Setelah bubu naik ke
kapal maka dilakukan proses pengeluaran hasil tangkapan (terlihat pada gambar
15). Setelah ikan dikeluarkan dari bubu, selanjutnya adalah memasukkan ikan ke
dalam ice box. Penyusunan ice box agar tetap dalam kondisi yang
baik dapat dilihat dari gambar 16. Tahap pertama pada perlakuan ikan segar
adalah memasukkan ikan pada satu ice box kemudian
setelah penuh maka ice box ditutup.
Tahap selanjutnya apabila masih banyak ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam
ice box sampai penuh dan disusun di
dalam tempat ikan yang lebih besat (biasanya terbuat dari sterofon). Setelah disusun sedemikian rupa maka dilakukan
pengangkutan ke darat dengan tepat waktu agar ikan masih dalam kondisi yang
baik.
Perkembangan bubu sebagai alat tangkap ramah lingkungan (biasa disebut pots)
tidak hanya digunakan di Indonesia namun digunakan pula pada negara lain.
Negara-negara yang mengunakan bubu diantaranya adalah Jepang, Brazil bagian
timur, Amerika Serikat bagian timur,
Australia bagian barat dan timur, Jerman, Prancis bagian barat, Thailand, dan
Kanada (FAO, 2001).
Aplikasi bubu dalam pengoperasiannya di alam memiliki banyak keuntungan
bagi penggunanya maupun organisme lain. Bagi pengguna bubu, keuntungan yang
dimiliki adalah alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap ramah lingkungan
sehingga dapat dilakukan secara terus menerus. Alat tangkap ramah lingkungan
mudah digunakan dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan
alat yang digunakan tidak menggunakan bahan-bahan yang berbahaya dan relatif
mudah dioperasikan.
Walaupun bubu merupakan alat tangkap pasif karena hanya merupakan
jebakan, namun produktivitas yang dihasilkan cukup tinggi tergantung pada
berapa kali setting sampai hauling. Dalam penangkapan ikan
mengunakan bubu juga harus memperhatikan kelestarian sumberdayanya. Hal ini
dikarenakan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, maka hanya ikan yang
boleh ditangkap dan sesuai ukuran konsumsi saja yang ditangkap sedangkan ikan
yang masih kecil dikembalikan ke alam. Apabila usaha penangkapan dengan bubu
dapat berjalan secara terus menerus maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap
juga akan dapat berjalan terus menerus dan tetap memperhatikan kelestarian
sumberdaya ikan.
II. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konstruksi alat tangkap bubu terdiri dari badan
(body), mulut (funnel) atau ijeb, pintu, tali, penanda, dan umpan.
2. Teknik
pengoperasian alat tangkap bubu dimulai dari setting sampai hauling
yang diperlukan beberapa hari untuk mendapatkan hasil tangkapan.
3. Aplikasi
bubu terhadap hasil tangkapan ikan yaitu memiliki produktivitas tangkapan yang
cukup tinggi dan merupakan alat tangkap ramah lingkungan yang digunakan untuk
keberlanjutan usaha perikanan.
B.
Saran
Perlu
dikembangkan dan disosialisasikan kemabali alat tangkap ramah lingkungan,
misalnya bubu. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan alat tangkap ramah
lingkungan maka suatu usaha perikanan dapat berjalan berkelanjutan dan lestari.
Selain itu, dikarenakan sudah terjadi kerusakan lingkungan perairan akibat alat
tangkap yang berbahaya dan merusak lingkungan. Apabila alat tangkap ramah
lingkungan dapat berkembang dan dimodifikasi lebih maju diharapkan menjadi alat
tangkap yang efektif dan efisien dalam kegiatan penangkapan ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1975. Ketentuan Kerja, Pengumpulan, Pengolahan,
dan Penyajian Data Statistik Perikanan (Buku 1). Jakarta: Direktorat
Jendral Perikanan, Departemen Pertanian.
Arthur Bowber, Nedeelec. 1976. Fisherman’s
Manual. England.
FAO. 2001. Fishing With Traps and Pots. FAO
Training Series. Australia.
IMAI. 2001. Country
Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Pedagangan dalam Perikanan
Karang di Indonesia. International Marinelife Alliance Indonesia. Bogor.
Partosuwiryo, S. 2002. Dasar-dasar Penangkapan
Ikan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Partosuwiryo, S. 2008. Alat Tangkap Ikan Ramah
Lingkungan. Citra Aji Parama. Yogyakarta.
Subani, W. dan
H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia. Balai
penelitian Perikanan laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 248 hal.
Sudirman dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Zulkarnaen, I. 2007. Pemanfaatan Ikan
Kakap Merah (Lutjanus sp.)
dengan Bubu di Perairan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak. Institut
Tinggi Bandung. Bandung.
2 comments